Kantor Berita Radio (KBR Indonesia) dan Netherland Leprosy Relief (NLR Indonesia) menggandeng beberapa media untuk memberikan ruang bagi pasien kusta. Pesan ini disampaikan dalam Media Gathering “Mengemas Kusta Menjadi Berita” yang diselenggarakan di Verse Luxe Hotel, Jakarta (11/08/23).
Communication Officer NLR Indonesia Paulan Aji menyampaikan bahwa media memiliki peran penting dalam memberikan ruang bagi pasien kusta dan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).
“Media mestinya memberikan ruang dan dukungan untuk pasien kusta dan OYPMK. Misalnya, angkat berita yang menginspirasi mereka untuk bangkit dan ajak publik untuk mengubah perilaku atau stigma terhadap kusta,” ungkap Paulan.
Penghapusan stigma negatif terhadap kusta menjadi agenda penting mengingat saat ini jumlah pasien kusta di Indonesia menduduki peringkat ketiga, setelah India dan Brazil. Pada 2021, tercatat 471 kasus kusta di Indonesia, termasuk pasien anak-anak.
Adanya mitos dan stigma bahwa kusta merupakan penyakit kutukan akibat dosa sehingga menjadi “aib” bagi pasien, membuat mereka mengalami perlakuan diskriminasi dalam masyarakat. “Stigma sering dialami oleh pasien kusta tingkat dua yang mengalami perubahan pada anggota tubuh. Hal ini dikarenakan saraf pada badan mereka sudah mati rasa, misalnya saat tertusuk paku itu tidak terasa,” kata Paulan.
Paulan juga berharap media dapat memberikan ruang untuk advokasi kebijakan terhadap pasien kusta. Misalnya, pemberitaan fakta tentang kusta sebagai kebijakan program serta pemenuhan hak bagi pasien kusta dan OYPMK.
Situasi bahwa kusta masih dibayangi oleh stigma dan mitos, membuat media perlu memiliki pemahaman khusus. Redaktur Pelaksana Detik Health AN Uyung Pramudiarja mengatakan bahwa media mestinya memiliki preferensi penamaan setiap komunitas. Misalnya, survivor kanker menunjukkan perjuangan mereka. Sementara itu, kusta menggunakan terminologi pasien dan OYPMK.
“Mengapa kita ribet dengan istilah? Hal ini dikarenakan berhubungan dengan adanya stigma negatif. Ketika individu atau kelompok memilih penamaan, hal itu akan berdampak pada kehidupan sosial, termasuk berpengaruh terhadap akses pelayanan mereka,” ujar Uyung.
Uyung mengungkapkan bahwa pemberitaan kusta tidak populer dibandingkan penyakit yang sering ditemui sehari-hari. Pemberitaan media dalam meliput topik pun dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurutnya, “prevalensi pasien kusta memang tidak banyak seperti saat COVID dulu. Mungkin pasien kusta sebenarnya banyak, tapi bayang-bayang stigma negatif ini yang membuat mereka menutup kondisi diri.”
“Artikel mengenai kusta hanya muncul di momen tertentu, berita yang dihasilkan pun kurang variatif. Padahal media bisa mengangkat kusta sebagai topik human interest dan bagaimana signifikansinya.”
Uyung memberi pesan kepada media dalam meliput isu kusta, seperti membuat isu kusta menjadi dekat dengan pembaca. “Kusta ada di sekitar kita, tetapi enggak terlihat. Sementara nilai kebaruan bisa mengangkat temuan kasus dan kendala dalam pelayanan. Akan lebih baik kalau jurnalis turun ke lapangan dan bertemu dengan pasien untuk memberikan topik kedalaman pada berita.”